Fenomena klaim surplus beras di satu sisi dan kemudian diikuti dengan impor beras pada saat yang sama bukan hal baru yang hanya terjadi di zaman pemerintahan Jokowi-JK saja. Pada periode 2004-2010 misalnya, pemerintah menyatakan akumulasi surplus produksi terhadap konsumsi selama 2004-2010 menghasilkan total surplus beras di akhir 2010 sebesar 15,76 juta ton. Perhitungan yang sama berlaku untuk 2014. Dengan produksi padi 70,83 juta ton GKG setara 39,82 juta ton beras dengan konsumsi per kapita beras sebesar 125,6 kilogram per tahun akumulasi surplus produksi beras 2014 mencapai 45,41 juta ton.
Surplus terus naik tetapi anehnya Bulog selalu mengalami kesulitan mengamankan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) dengan alasan harga pasar sangat jauh di atas harga pembelian pemerintah (HPP) meskipun pada saat panen raya (Maret-April). Dan, yang lebih aneh lagi ketika surplus yang tinggi tersebut malah impor beras pun tetap tinggi. Hal ini bisa dilihat pada 2011; saat itu surplus beras sebesar 5 juta ton tetapi harga beras terus merangkak naik yang akhirnya menyebabkan pemerintah mendatangkan sekitar 1,8 juta ton beras impor karena Bulog mengalami kesulitan untuk memenuhi CBP dengan hanya mengandalkan produksi beras dalam negeri.
Terlepas dari klaim tentang surplus beras diikuti dengan impor yang telah terjadi berulang-ulang tersebut, yang perlu kita garis bawahi adalah stabilitas harga beras ditentukan oleh peran negara dalam menjaga logistik beras nasional. Agar fungsi stabilisasi harga berjalan efektif maka negara harus memiliki cadangan beras (food reserve) yang kuat. Ketika harga beras melambung tinggi di tingkat konsumen maka pemerintah melempar cadangan beras negara ke pasar untuk menstabilkan harga.
Sebaliknya ketika harga beras di tingkat produsen anjlok pada saat panen raya maka pemerintah yang harus membeli beras tersebut dari petani pada tingkat harga yang lebih tinggi dari harga pasar di tingkat petani. Bulog sebagai lembaga stabilisasi harga ini di era Reformasi tidak mampu menjalankan fungsi stabilisasi harga dengan baik. Hal ini karena Bulog di era Reformasi ini kesulitan untuk memiliki cadangan beras yang cukup untuk menjalankan fungsi tersebut. Cadangan beras yang ideal dimiliki Bulog adalah minimal 10 persen dari total produksi.
Pemerintah harus menyadari benar bahwa dengan kondisi yang ada saat ini maka akan sangat sulit bagi Bulog untuk bisa memenuhi cadangan pangannya dari sumber dalam negeri dengan konstrain realitas sebagai berikut. Pertama, implementasi HPP akan sulit efektif di lapangan sebagai alat untuk menyerap gabah dan beras petani untuk kepentingan memenuhi cadangan pangan beras Bulog. HPP baru akan efektif untuk menyerap bahan pangan dari petani jika ditetapkan di atas harga gabah dan beras di tingkat petani. Tetapi ketika pemerintah menerapkan HPP di atas harga di tingkat petani tersebut dampak ikutannya akan mengerek harga pangan naik dan memacu inflasi. Padahal kenaikan harga-harga pangan akan berdampak buruk bagi masyarakat menengah bawah.
Untuk beras misalnya, kenaikan harga sebesar 10 persen akan meningkatkan angka kemiskinan sebesar 1,3 persen (Ikhsan et al, 2015). Dan, ketika HPP ditetapkan di bawah harga gabah dan beras yang terjadi di tingkat petani, dampaknya Bulog tidak bisa menyerap gabah/beras petani tersebut karena bila itu dilakukan Bulog akan kena sanksi karena melanggar aturan terkait HPP tersebut.
Kedua, cadangan beras akan sangat ditentukan oleh tingkat produksi beras nasional. Masalahnya, peningkatan produksi yang signifikan dengan jumlah besar dengan mengandalkan petani kita yang berlahan sempit adalah sangat sulit. Terlebih ketika 55 persen di antaranya adalah petani gurem dengan luas lahan kurang dari 0,5 ha. Implikasi dari produksi beras kita yang berbasis petani gurem ini; 1) untuk meningkatkan produktivitas padi menjadi sangat mahal karena perlunya subsidi yang masif untuk intensifikasi pertanian. Hal ini karena petani tidak mampu jika mereka harus membiayai sendiri intensifikasi usaha taninya; dan, 2) konversi lahan pertanian sawah yang sulit dikendalikan.
Artinya, meningkatkan cadangan beras negara dalam jumlah besar seperti yang diinginkan akan sulit dicapai jika hanya mengandalkan suplai dari petani domestik. Tapi juga tidak bisa terus-terusan mengandalkan impor karena ke depan gejolak pasar beras internasional akan mudah terjadi karena minimnya residual (sisa kebutuhan dalam negeri dari negara eksportir beras yang diperdagangkan di pasar internasional), dan kondisi cuaca yang sulit diprediksi karena perubahan iklim global.
Maka, melalui tulisan ini penulis mengingatkan kembali bahwa membangun food estate beras yang dikelola BUMN adalah menjadi pilihan yang niscaya. Food estate beras adalah suatu bentuk usaha skala besar bahkan raksasa di bidang agribisnis beras yang dikelola dengan mekanisasi dan teknologi pertanian modern. Bagian dari produksi food estateberas inilah yang akan membantu negara mengamankan kebutuhan domestik dan cadangan logistik beras nasional yang kuat jika Bulog kesulitan menyerap beras petani. Sedangkan ketika panen dari petani memadai untuk memenuhi cadangan logistik pemerintah, produksi beras food estate ini bisa diekspor. Dan, itu artinya kita tidak perlu lagi bicara opsi impor untuk kepentingan logistik beras nasional.
. . . . . . . . .
Source : Detik.com
Date : 6 February 2018
. . . . . . . . .