Kementerian Pertanian (Kementan) mengklaim produksi beras nasional akan mengalami surplus. Tahun ini saja, Kementan mengklaim prediksi Gabah Kering Giling (GKG) sebesar 79,14 juta ton, naik dari produksi tahun lalu 75,39 juta ton.
Dari produksi GKG tersebut, setelah digiling menjadi beras, Kementan mencatat ada surplus beras di 2015 sebesar 10 juta ton. Tahun ini surplus beras dipastikan akan meningkat jika melihat ramalan produksi GKG 2016 yang naik.
Meski surplus, pemerintah tak akan mengekspor kelebihan beras tersebut.
“Kelebihan tapi tak bisa diekspor, karena harga beras kita relatif lebih tinggi. Ini hubungannya dengan efisiensi dalam cost of production (biaya produksi),” ujar Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementan, Hasil Sembiring, di kantor Ditjen Tanaman Pangan Kementan, Pasar Minggu, Jakarta, Selasa (1/11/2016).
Salah satu kontributor biaya terbesar, ucap dia, yakni ongkos tenaga kerja yang lebih mahal ketimbang negara tetangga dalam memproduksi beras.
“Contohnya saja petani di Jawa Barat tenaga kerjanya itu jauh lebih mahal daripada Laos. Paling dominan tenaga kerja, makanya kita dorong pakai alsintan (alat dan mesin pertanian),” jelasnya.
Penyumbang biaya tinggi lain, menurut Hasil, yakni luasan tanah yang dimiliki petani padi di Indonesia yang terlalu kecil dengan rata-rata di bawah 1 hektar.
“Bandingkan saja dengan Laos, Vietnam, Thailand, petani Vietnam lahannya 6 hektar,” kata Hasil.
Menurutnya, penggunaan teknologi yang efisien dari benih sampai pasca panen oleh petani yang masih minim, juga berkontribusi pada mahalnya beras Indonesia ketimbang negara tetangga.
“Ketiga peralatan, beberapa kunjungan saya ke Thailand, alat-alat mereka sangat besar dan efisien. Jadi kenapa harga beras kita kalah, related dengan efisiensi,” pungkasnya.
– – – – –
Source : Detik Finance
Date : 1 Nov 2016