Sejak awal tahun, harga beras tak kunjung menyusut. Tak heran, pemerintah dibuat kelimpungan karenanya. Hal itu terbukti dari sikap tegas Presiden Joko Widodo yang meminta seluruh jajarannya untuk mendorong harga beras yang stabil dengan level normal menjelang bulan Ramadan.
Dengan waktu yang tinggal dua bulan lagi, tentu banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan. Langkah mengantisipasi tingginya harga beras sudah dilakukan sejak awal tahun.
Pertama, pemerintah telah berupaya untuk menambah pasokan beras melalui impor beras khusus dengan kuota sebesar 500 ribu ton di awal tahun.
Selain itu, Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Bulog) juga telah melakukan operasi pasar menggunakan cadangan beras pemerintah (CBP), dan menggelar operasi pasar menggunakan beras cadangan Bulog mulai pekan ini.
Darmin menilai harga beras mungkin tak bisa turun dalam waktu sekejap, lantaran masa panen raya yang bergeser dari jadwal seharusnya pada Maret menjadi April.
Ini disebabkan panen bagi padi yang ditanam setelah periode tanam utama atau padi gadu dipaksakan panen dua kali tahun lalu. Selain karena hasilnya tidak optimal, ini menyebabkan masa tanam untuk panen berikutnya bergeser mundur.
Maka itu, ia berharap pemenuhan kebutuhan beras sebelum panen raya bisa terpenuhi. Caranya, melakukan operasi pasar dan mengeluarkan beras impor yang selama ini ditimbun di gudang Bulog.
“Saya sudah bilang ke Kantor Staf Presiden (KSP) dan Satgas Pangan bahwa ini adalah kewenangan Bulog. Jangan digembok-gembok gudangnya, karena kami mau menurunkan harga menjelang bulan puasa dan lebaran,” jelas Darmin.
Pekerjaan rumah pemerintah masih jauh dari sekadar operasi pasar dan mengimpor beras.
‘Pemerintah Blunder‘
Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengatakan banyak anomali menyangkut beras sejak awal tahun. Sehingga agak sulit untuk mengerek harga turun kembali dalam jangka waktu yang tinggal dua bulan lagi.
Menurut dia, bergesernya panen raya membuat segala kebijakan pemerintah amburadul. Pemerintah terpaksa melakukan operasi pasar karena pemenuhan stoknya masih belum optimal hingga Maret. Padahal, menurut ketentuan yang berlaku, operasi pasar tidak boleh dilakukan menjelang panen raya karena biasanya akan merusak mekanisme pasar.
Selain itu, pemerintah juga dianggapnya blunder dengan melakukan sistem fleksibilitas harga dalam penyerapan Gabah Kering Panen (GKP) oleh Bulog.
Ketika Bulog masuk ke pasar dan berburu GKP di saat produksi tengah melandai, maka penyerapan tidak akan optimal.
Memahami persediaan GKP tipis, produsen tentu akan membanderol harga yang mahal untuk produksinya dan tak rela dibeli murah oleh Bulog. Upaya ini tentu saja semakin sia-sia dalam menurunkan harga beras.
“Saya mengerti, kalau Harga Pembelian Pemerintah (HPP) tak dinaikkan maka penyerapan Bulog akan kecil, tapi justru ini menjadi blunder bagi pemerintah,” ucap dia.
Ia juga menilai aneh tindakan Bulog untuk menyerap GKP dan melakukan operasi pasar di waktu yang bersamaan. Sebab, ini artinya Bulog sendiri tak bisa menahan stok berasnya yang bisa digunakan untuk kepentingan lain.
Dia mengimbau Bulog sebaiknya fokus dalam penguatan stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang sudah tercatat defisit 27.888 ton per 12 Maret 2018 kemarin. Sebab, ketika CBP defisit, ini sinyal bagi pelaku pasar untuk melakukan spekulasi harga beras dan membuat harga beras tak kunjung turun.
Di samping itu, pemerintah juga harus melakukan perbaikan dari sisi permintaan. Langkah pemerintah dalam mengubah skema bantuan langsung beras dalam program beras untuk rakyat sejahtera (rastra) menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) malah bisa membuat harga beras tak kunjung turun.
Sebab, dulu 15,5 juta kepala keluarga penerima rastra bisa mendapat bantuan beras langsung dari pemerintah sehingga tidak perlu memikirkan pengelurannya per bulan untuk beras. Namun, karena sekarang bantuannya berupa uang, maka masyarakat perlu membeli beras dengan harga yang sesuai dengan kondisi pasar.
“Penerima bantuan langsung harus berburu beras ke pasar. Lambat laun pemerintah kehilangan intervensi dalam menangani pergerakan harga beras. Harga beras yang tak kunjung turun sebenarnya konsekuensi logis,” tutur dia.
Senada, Guru Besar Pertanian Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas mengatakan pemerintah sudah harus memiliki target besaran CBP sejak awal agar leluasa melakukan intervensi pasar.
Menurut dia, salah satu permasalahan mendasar mengenai pergolakan harga beras ini adalah data beras yang masih abu-abu. Jadi, bagaimana pun jibaku pemerintah, tetap saja pasokan selalu rendah di akhir tahun.
Ia mengacu pada data Bulog di mana stok CBP awal tahun terbilang 232.804 ton. Padahal agar semakin luwes melakukan intervensi, stok CBP akhir tahun minimal harus di angka 1 juta ton.
“Dalam melakukan intervensi pasar, kendalanya adalah stok. Padahal ini dibutuhkan dalam mengisi kekosongan jelang panen raya, apalagi panen awal tahun ini puncaknya baru April,” ungkap dia.
Menurutnya, pemerintah harus realistis. Jika memang ingin memperbanyak stok, maka pemerintah harus memperbaiki Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dalam menyerap beras. Sebab, saat ini HPP yang dipatok masih sangat rendah.
“Sudah lah, daripada melakukan fleksibilitas, sudah saatnya HPP ini direvisi. Saat ini HPP sudah lebih rendah dibandingkan dengan biaya produksinya,” papar dia.
Jika pemerintah masih mengandalkan jurus seperti saat ini, ia sangsi harga beras bisa turun menjelang bulan Ramadan. Mungkin, harga turun di bulan depan seiring panen yang membuncah. Namun, jangan harap turunnya bisa signifikan.
Ia menambahkan, kebijakan impor pun, lanjut dia, sebenarnya lumrah saja jika dan hanya jika data produksinya tidak memenuhi kebutuhan nasional. Tapi, kembali lagi, datanya saja dianggap tak jelas.
“Kalau sekarang saja kebijakan impor sudah terlambat karena data produksi dan kebutuhannya tak jelas. Padahal data ini kunci,” pungkas Andreas.
. . . . .
Source : CNN Indonesia
Date : 21 March 2018
. . . . .