Klaim Kementerian Pertanian (Kementan) bahwa sepanjang 2015 terjadi surplus beras sebanyak 10 juta ton tidak hanya mengusik Kementerian Perdagangan. Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri turut mempertanyakan data Kementan tersebut, karena pada kenyataannya harga beras sepanjang Januari 2016 menjadi salah satu penyumbang inflasi.

Menurut Faisal, Badan Pusat Statistik (BPS) sudah berbulan-bulan mencatat beras sebagai salah satu penyumbang utama inflasi.

“Anehnya Kementerian Pertanian menggunakan data stok beras 2007-2011 hasil survei Sucofindo dan Kementerian Perdagangan. Kalau hendak membuat neraca beras yang akurat seharusnya stok beras 2015 juga berdasarkan survei tahun yang sama,” kata Faisal, dikutip Selasa (9/2).

Ia mengatakan dalam melakukan perhitungan produk domestik bruto (PDB), BPS selalu memasukkan unsur stok atau inventori.

“Kalau produksi turun, stok cenderung turun. Karena itu stok selalu berubah dari waktu ke waktu. Kalau stok turun, harga cenderung naik. Kementan tidak bisa mengklaim stok beras aman jika harga beras terus merangkak naik,” tegasnya.

Kepala Pusat Data dan Informasi Kementan Suwandi sebelumnya menjelaskan bahwa survei Sucofindo dilakukan sesaat setelah musim kemarau maupun setelah musim panen. Data stok beras terdiri dari stok yang ada di masyarakat dan stok di Perusahaan Umum (Perum) Bulog.

Kemudian, stok di pedagang mencakup yang pedagang pengumpul, penggilingan, koperasi, grosir, pengecer, supermarket, dan lainnya. Lalu, stok di konsumen yang mencakup konsumen rumah tangga umum, rumah tangga khusus, rumah makan besar, rumah makan kecil, hotel, restoran dan lainnya.

Berdasarkan perhitungan Neraca Beras tahun 2015, menurut Suwandi diperoleh ketersediaan beras surplus 10,25 juta ton beras.

“Mengingat perhitungan neraca beras sudah termasuk penyerapan beras PSO dan komersial Bulog 2015 sebesar 2,7 juta ton, maka ketersediaan surplus beras di masyarakat menjadi 7,55 juta ton,” katanya.

Alih Profesi

Selain mempertanyakan validitas data Kementan, Faisal juga mengungkapkan data dari BPS yang menyebutkan jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian terus menurun dari 39,22 juta pada 2013 menjadi 38,97 juta pada 2014.

“Jumlahnya turun lagi menjadi 37,75 juta pada 2015. Sementara usia rerata petani semakin tua. Generasi muda merosot minatnya menjadi petani. Lembaga pendidikan tinggi pertanian memperluas bidang studi ke nonpertanian. Sarjana sekolah pertanian semakin banyak yang bekerja di sektor nonpertanian,” kata Faisal.

Masih berdasarkan data BPS mengenai status pekerjaan utama, Faisal menemukan bahwa pekerja formal mengalami peningkatan cukup tajam.

“Hampir bisa dipastikan kebanyakan mereka memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi dan bekerja di sektor jasa moderen seperti keuangan, perdagangan, business services, komunikasi, dan sebagainya. Sementara pekerja informal kebanyakan berkutat di sektor pertanian,” jelasnya.

 

Source : CNN Indonesia
Date : 9 Feb 2016