Kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) turun bukan selalu berarti sektor pertanian tidak berkembang. Pertumbuhan sektor industri dan jasa di banyak negara berkembang umumnya berkembang lebih pesat dibanding pertumbuhan di sektor pertanian.

“Hal ini tentu berakibat menurunnya kontribusi sektor pertanian terhadap PDB Nasional. Sebagai contoh, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB di beberapa negara pada tahun 1995 dibanding tahun 2014 umumnya mengalami penurunan,” ujar Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan Agung Hendriadi dalam keterangan tertulis, Jumat (31/3/2017).

Agung mengutip data World Bank yang melaporkan untuk Malaysia turun dari 12,9% menjadi 8,9%, Cina 19,6% menjadi 9,1%, Vietnam 27,2% menjadi 17,7%, dan Kamboja 49,6% menjadi 30,5%. Namun demikian, menurut Agung, hal itu tidak perlu dikhawatirkan sebab penurunan kontribusi ini akan mengarah kepada situasi kurang pangan.

“Negara-negara tersebut, termasuk Indonesia membuktikan, pada periode tersebut mampu mewujudkan kemandirian dalam produksi pangan bahkan sebagian di antaranya menjadi eksportir pangan,” ungkapnya.

Menurut Agung hal yang sama pasti berdampak juga kepada penurunan serapan tenaga kerja. Walaupun serapan tenaga kerja untuk sektor pertanian di Indonesia tahun 1991 sebesar 55,1% dan turun menjadi 31,9% di tahun 2016, produksi pangan Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang cukup signifikan. Hal itu sebagai imbas dari peningkatan produktivitas dan luas lahan, termasuk di dalamnya pemanfaatan teknologi.

Hal serupa juga terjadi di negara lain. Pada periode 1994 sampai dengan 2010, World Bank melaporkan tenaga kerja di sektor pertanian di negara Cina turun dari 50% menjadi 3%, Thailand turun dari 56% menjadi 38%, dan Filipina 45% menjadi 33%.

Situasi ini, menurut peneliti Center for South East Asia Study yang mendalami migrasi tenaga kerja di sektor pertanian di negara-negara Asia, tidak perlu dikhawatirkan akan menurunkan pertumbuhan produksi pangan asalkan teknologi yang diperlukan dipersiapkan dengan baik.

“Pemerintah, dalam hal ini, telah mengantisipasi dengan pemanfaatan 180 ribu alat mesin pertanian untuk mengurangi beban kerja petani dan meningkatkan efisiensi produksi,”tegasnya.

Fakta menunjukkan selama 32 tahun terhitung mulai 1984 hingga 2014, pembangunan pertanian Indonesia masih tergantung impor untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Kini, sepanjang 2015 sampai dengan 2016 Indonesia telah mampu meningkatkan produksi pangan strategis sehingga volume impor turun, bahkan tidak impor untuk beras, bawang, dan cabai, serta impor jagung dapat ditekan 66%.

Secara rinci produksi komoditas strategis dalam dua tahun terakhir mengalami peningkatan. Produksi padi naik 11 persen, jagung naik 21,8 persen, cabai naik 2,3 persen, dan bawang merah naik 11,3 persen.

Peningkatan produksi komoditas unggulan peternakan, daging sapi naik 5,31 persen, telur ayam naik 13,6 persen, daging ayam naik 9,4 persen, dan daging kambing naik 2,47 persen. Begitu pun produksi komoditas perkebunan, tebu naik 14,42 persen, kopi naik 2,47 persen, karet 0,14 persen dan kakao naik 13,6 persen.

“Terkait neraca produksi dan konsumsi beras yang dihitung oleh Direktur Eksekutif Departemen Riset Kebijakan Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Dody Budi Waluya, perlu dikoreksi. Menurut Dody, dengan prediksi jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2020 sebesar 270 juta, dibutuhkan 55 juta ton beras. Ini berarti kalau dihitung balik maka konsumsi per kapita masyarakat Indonesia pada tahun 2020 sebesar 203 kg per kapita per tahun,” papar Agung.

Menurut Aging angka konsumsi per kapita ini tidak sesuai dengan hasil survei terakhir, bahwa konsumsi beras per kapita masyarakat Indonesia hanya 113 kg per kapita per tahun (2014). Angka konsumsi per kapita ini sebenarnya cenderung turun dari tahun ke tahun, sebagai contoh pada tahun 2010 konsumsi per kapita masih 124 kg per kapita per tahun.

“Kecenderungan turunnya konsumsi beras per kapita ini, salah satunya dipengaruhi oleh meningkatnya tingkat pendapatan masyarakat dan secara keseluruhan meningkatnya Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI),” lanjut Agung.

Beberapa program pemerintah yang terkait dengan upaya untuk menekan inflasi pangan (volatile food inflation) dan meningkatkan kesejahteraan petani, di antaranya di tingkat produsen melalui pengendalian harga dengan penetapan harga pembelian pemerintah (HPP) dan harga dasar.

HPP dan harga dasar tersebut ditetapkan secara hati-hati dengan mempertimbangkan margin yang wajar diterima oleh petani agar terus berproduksi dan tidak mendongkrak inflasi. Di tingkat konsumen, Pemerintah menetapkan harga acuan pangan strategis melalui Permendag No.63 Tahun 2016.

Penetapan harga acuan ini diharapkan mampu mengendalikan margin yang diterima oleh pedagang agar konsumen menerima harga yang wajar. Sebagai contoh, HPP untuk gabah kering panen Rp 3.700 per kg dan harga beras di pasar induk ditetapkan Rp 7.300 per kg.

“Pemerintah melalui Kementerian Pertanian juga telah melakukan pengendalian distribusi pangan dengan memangkas rantai pasok dari 9 titik menjadi 3 titik, diantaranya dengan membangun Toko Tani Indonesia (TTI). Pada tahun 2016 telah terbangun TTI sebanyak 1.218 unit, dan tahun 2017 dalam proses pembangunan untuk 1000 unit TTI,” tuturnya.

“Upaya pengendalian harga melalui penetapan HPP, harga acuan, pemangkasan rantai pasok, dan kerja sama kemitraan penyerapan produksi dengan industri pangan/pakan diharapkan mampu menekan tingginya inflasi pangan dan meningkatkan pertumbuhan produksi pangan dalam dua sampai tiga tahun ke depan,” pungkasnya.

. . . . .
Source : Detik Finance
Date : 31 March 2017
. . . . .